Rifan, Mohamad (2017) Rekonstruksi Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Dalam Tata Kelola Hutan Desa. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya. Abstract. kajian sejarah yang mengarahkan terhadap pemenuhan kebutuhan mayarakat desa baik sekitar maupun dalam hutan melalui pemindahan konsep pengelolaan hutan berbasis negara (State Base Developement) menjadi pengelolaan hutan berbasis Desa
Pendampinganpenyusunan pengelolaan hutan desa di wilayah ekosistem gambut, menjadi langkah awal mengintegrasikan kepentingan sosial dan lingkungan. Pada tahun 2019 HPHD Desa Telaga mendapatkan izin hak pengelolaan kawasan melalui SK perhutanan sosial yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang disusul dengan HPHD
HutanDesa Penulisan Rencana Pengelolaan Hutan Desa (RPHD) adminypi March 3, 2021 Kegiatan yang melibatkan LPHD, Perwakilan pemerintahan desa, tokoh masyarakt, dan tokoh pemuda telah terlaksana pada masing-masing Desa Telaga, Desa Mendawai, dan Desa Tampelas pada bulan Januari 2021.
RENCANAPENGELOLAAN HUTAN DESA BENTANG PESISIR DABONG DESA DABONG I. GAMBARAN UMUM A. LOKASI HUTAN DESA 1. Desa : Dabong 2. Luas Desa a. Areal Penggunaan Lain : ± 5.190 hektar b. Hutan Lindung : ± 4.625 hektar c. Hutan Produksi Tetap : - hektar d. Hutan Produksi : - hektar
Hutan Desa' (HD) secara seragam didefinisikan oleh Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan dan Kehutanan atau KLHK sebagai hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani izin atau hak. Ada tiga persoalan dalam definisi tersebut.
Untukmeningkatkan kinerja pengelolaan dan mendorong pengelolaan lestari maka ada kebutuhan menyusun Rencana Kelola Hutan Rakyat KTH JASEMA DESA TERONG 2015. RKTHR ini disusun dengan metode partisipatif berdasar pengalaman, kebutuhan dan harapan masyarakat Desa Terong. Rencana Kelola ini akan digunakan sebagai pemandu KTH Jasema dalam
. Hutan Desa yang selanjutnya disingkat HD adalah hutan negara yang berada dalam wilayah administratif desa, dikelola oleh desa, dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Makna politis dan ekonomis dari konsepsi HD diterjemahkan menjadi mekanisme tata wilayah dan tata kuasa. Apakah kedua mekanisme tersebut cukup untuk mewujudkan cita-cita konsepsi HD? Apakah kedua mekanisme tersebut dapat diwujudkan dalam praksis? Bagaimana caranya? HD sebagai sebuah konsep dan praktik akan menghadapi tantangan dalam mewujudkannya sebagai sebuah ideologi, politik, instrumen relasi sosial, dan teknologi. Selain memproses usulan yang sudah ada, HD memiliki peluang besar untuk menjadi skema utama dalam Perhutanan Sosial Indonesia melalui 3 cara, yaitu 1 Menawarkan kepada seluruh desa sekitar hutan untuk menjadi pengelola HD; 2 Luas areal kerja HD tidak didasarkan pada usulan, tetapi luas areal kawasan hutan yang tidak dibebani hak desa bersangkutan; 3 Membuat kebijakan baru dalam bentuk varian skema Perhutanan Sosial, berupa Hutan Desa Kemitraan. Tiga cara baru pengembangan HD merupakan inovasi rasional. Ini adalah pengembangan yang mencakup jumlah unit pengelola, luas areal, dan potensi peningkatan akses. KLHK mencatat ada desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan KLHK, 2018. Secara ideal, semua desa tersebut merupakan pengelola HD. Jika diasumsikan 1 desa 1 HD, maka HD saat ini hanya meliputi 793 desa sekitar 3% dari total desa hutan. Terdapat desa hutan lainnya yang berpotensi sebagai pengelola. Figures - uploaded by Edwin MartinAuthor contentAll figure content in this area was uploaded by Edwin MartinContent may be subject to copyright. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALEdwin MartinA. Apa itu Hutan Desa Deļ¬nisi Legal dan Ragam Konseptual Hutan Desa yang selanjutnya disingkat HD adalah hutan negara yang berada dalam wilayah administratif desa, dikelola oleh desa, dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Kalimat tersebut merupakan deīnisi legal operasional tentang HD yang tercantum dalam Peraturan Menteri Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan LHK No. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Istilah HD dalam peraturan perundangan di Indonesia muncul pertama kali dalam penjelasan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang menjelaskan bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara dan hutan hak. Pada bagian penjelasan tertulis ā.... Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desaā. Deīnisi legal ini mengandung tiga kata kunci, yaitu hutan negara, dikelola oleh desa, dan kesejahteraan desa. Istilah HD disebut secara spesiīk pertama kali dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan yaitu Peraturan Pemerintah PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. HD kemudian diatur secara khusus sebagai program pemerintah melalui Peraturan Menteri Kehutanan Permenhut No. Tahun 2008 tentang HD. PP No. 6 Tahun 2007 dan Permenhut No. Tahun 2008 menambahkan frasa ā...hutan negara yang belum dibebani izin/hakā dalam deīnisi HD. Frasa tersebut tidak disebutkan lagi dalam peraturan terakhir, yaitu Permen LHK No. 83 Tahun 2016 dan dikembalikan sesuai deīnisi dalam UU No. 41 BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial34Tahun 1999. Pada sisi lain, istilah Hutan Desa juga muncul dalam peraturan perundang-undangan lain yang tidak bersumber atau mengacu kepada UU Kehutanan, yaitu Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 64 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Regulasi ini menyebut HD sebagai bagian kekayaan desa yang menjadi sumber pendapatan desa. Meskipun tidak identik, istilah hutan desa yang dipakai oleh regulasi di luar KLHK memiliki semangat yang sama, yaitu untuk kesejahteraan desa. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa memuat istilah hutan milik desaā, sebagai bagian aset desa, bagian sumber pendapatan asli desa Pasal 76. Hutan milik desa ini dapat diartikan sebagai Hutan Desa dalam pengertian UU Kehutanan maupun hutan lainnya yang dikelola oleh desa. Namun demikian, kerancuan istilah dapat saja terjadi antara HD dan hutan lainnya yang secara tradisional dikelola oleh desa tetapi di luar hutan negara. Oleh karena itu, untuk memahami istilah HD, maka harus diletakkan dalam kerangka pikir Perhutanan Sosial1 sebagai payung dari beragam istilah lainnya. Permen LHK No. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial memuat istilah Hak Pengelolaan Hutan Desa HPHD sebagai tenurial atau posisi legal dari suatu HD. HPHD adalah hak pengelolaan pada kawasan hutan lindung atau hutan produksi yang diberikan kepada lembaga desa. HPHD diberikan oleh Menteri. Lembaga desa dalam peraturan ini adalah lembaga kemasyarakatan desa yang bertugas untuk mengelola HD. Lembaga desa dapat berbentuk koperasi desa atau badan usaha milik desa setempat Pasal 8 ayat 2. Hal lain yang penting dalam peraturan ini adalah bahwa lokasi HPHD berada dalam wilayah administrasi desa. Hal-hal tersebut merupakan atribut legal yang melekat pada HD dan menjadi pembeda dengan istilah hutan desaā lainnya yang muncul di disebutkan secara khusus dalam UU No. 41 Tahun 1999, istilah hutan desa di Indonesia masih jarang ditemukan di dalam literatur ilmiah dan belum digunakan secara umum sebagai konsep yang hidup di masyarakat. Poīenberger, Walpole, DāSilva, Lawrence, & Khare 1997 ketika membahas 1 Permen LHK No. 83 tahun 2016 mendeīnisikan Perhutanan Sosial sebagai sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial35hubungan pengelolaan sumber daya oleh masyarakat dan peran pemerintah untuk kasus di Indonesia, menyebut hutan desa sebagai sebuah program penataan persil bagi hutan rakyat di suatu desa. Aliandi & Djatmiko 1998 menyebut hutan desa sebagai salah satu bagian tata guna lahan dalam monograī desa penelitian mereka, Desa Sungai Telang. Desa tersebut berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat dan kawasan hutan yang dikuasai HPH. Hutan desa yang biasa disebut di dalam monograī suatu desa ini umumnya mengacu kepada areal di dalam wilayah adiministrasi desa yang dinilai berbentuk hutan, namun di luar kawasan hutan negara. Perbedaan konsepsi hutan desa ini wajar terjadi karena bagaimanapun istilah desa sesungguhnya baru digunakan di luar Jawa dan Bali setelah tahun 1980-an, sementara hutan di Pulau Jawa identik dengan hutan yang dikuasai Hutan Desa Kehadiran Negara Menata Hutan di DesaKonsep desa mulai dikenal di seluruh Indonesia sejak diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sebagaimana termaktub dalam penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen, āDalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelīesturende landchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainyaā. Desa, marga, negeri atau nagari, dan nama-nama lainnya diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum yang diakui sejak Indonesia merdeka, sebagai sistem hukum yang diwariskan dari pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang. Dalam kasus di Provinsi Sumatera Selatan Sumsel, sebagai tindak lanjut UU No. 5 Tahun 1979, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumsel pada tahun 1983 mengeluarkan keputusan No. 142/KPTS/III/1983 yang berisi penghapusan Pemerintahan Marga. Sebanyak 188 marga yang ada saat itu dilebur menjadi desa. Sebagian besar dusun-dusun dalam pemerintahan marga diubah menjadi desa. Perubahan struktur pemerintahan ini kemudian diikuti dengan memudarnya sistem teritorial yang telah berlaku sejak lama, termasuk Hutan Marga. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial36Pada masa pemerintahan marga, sejak era Kesultanan Palembang Darussalam, kolonial Belanda hingga era kemerdekaan tahun 1983, banyak marga menguasai areal tertentu yang disebut sebagai Hutan Marga. Kepala Marga atau disebut pasirah atas nama komunal marga menguasai hutan marga, sebagai wilayah yang dicadangkan untuk kepentingan perladangan berpindah anggota marga dan pengembangan dusun Prasetyo & Kumazaki, 1995; Santun, Murni, & Supriyanto, 2010; Smith & Bouvier, 1993. Kepala Dusun atau kerio bersama warga dusunnya dapat menetapkan areal di sekitar dusun sebagai hutan peramunan atau hutan ramuan, tempat untuk mencukupi kebutuhan kayu bagi warga dusun. Meskipun dikuasai secara komunal, pemanfaatan lahan hutan marga maupun kayu dari hasil hutan peramunan harus mendapatkan izin dari pasirah dan kerio. Hutan marga suatu marga2 dan hutan peramunan sebuah dusun sesungguhnya merupakan bentuk HD yang disebut pada masa sekarang, meskipun tidak berada dalam hutan negara. Ini berarti bahwa HD bukan merupakan konsepsi baru, terutama dari sisi semangat dikelola oleh desa pemerintah dan untuk kesejahteraan desa. Perbedaan konsepsi HD tradisional misalnya hutan marga dan HD kontemporer selain pada status lahan adalah bahwa HD tradisional selalu mengacu kepada areal yang merupakan formasi hutan3. Varian lain dari istilah HD adalah Hutan Nagari HN. Berbeda dengan sistem marga di Provinsi Sumsel yang pudar dan hilang sejak diterapkannya UU No. 5 Tahun 1979, nagari di Sumatera Barat Sumbar masih dipertahankan sebagai lembaga tradisional. Nagari adalah suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang tertinggi di Sumbar, dengan batas-batas tertentu, harta kekayaan tertentu, mempunyai penguasa adat dan anggota masyarakat tertentu Ekawati & Nurrochmat, 2014. 2 Pada saat ini, diskusi tentang hutan marga dan hutan peramunan lebih sering diletakkan dalam kerangka program Hutan Adat bagian dari Perhutanan Sosial. Hutan peramunan di Desa Penyandingan, Kecamatan Semende Darat Laut, Muara Enim, Sumatera Selatan, saat ini dalam proses pengajuan pengakuan Hutan Dalam kasus 14 Hutan Desa di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, areal yang ditetapkan menjadi HD adalah kawasan hutan lindung yang formasinya telah berubah bentuk menjadi perkebunan kopi; areal yang masih berbentuk hutan tidak menjadi areal kerja HD, kecuali beberapa unit HD saja. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial37Peraturan Daerah Perda Provinsi Sumbar No. 13 Tahun 1983 mengatur tentang pendirian kerapatan adat di tiap-tiap nagari yang lama, meskipun sistem nagari dihapuskan dan jorong struktur pemerintahan di bawah nagari, setingkat dusun pada sistem marga menjadi desa. Era reformasi tahun 2000-an membawa semangat masyarakat Sumbar untuk kembali kepada sistem pemerintahan nagari. Keinginan tersebut diperkuat dengan terbitnya PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa yang secara prinsip menyebut bahwa istilah desa dapat disesuaikan dengan asal-usul dan kondisi budaya masyarakat setempat. Istilah desa dikembalikan menjadi nagari. Karenanya, istilah hutan desa yang disebut dalam beragam peraturan perundang-undangan, diadaptasikan menjadi hutan nagari. Dari sisi sejarah, sebagaimana umum terjadi pada wilayah kekuasaan kolonial Belanda di luar Pulau Jawa, hutan nagari di Sumbar mengalami evolusi kelembagaan. Nursidah, Nugroho, Darusman, Rusdiana, & Rasyid 2012 menjelaskan bahwa sebelum tahun 1916, semua hutan adalah hutan ulayat. Setelah pemerintah kolonial Belanda berkuasa, status hutan dibagi menjadi dua, hutan register yang dikelola pemerintah dan hutan ulayat yang dikelola penghulu dan aturan adat. Setelah Indonesia merdeka, pembagian status hutan tersebut tetap dipertahankan sampai tahun 1983. Sejak tahun 1983, status hutan berubah menjadi hutan negara dalam fungsi hutan lindung dan hutan konservasi yang dikelola oleh pemerintah dan area penggunaan lain APL yang dikuasai oleh masyarakat dan aturan adat. Ini menyebabkan tumpang-tindih antara hutan ulayat dengan hutan negara yang berakibat pada konīik antara pemerintah dengan masyarakat adat.Nursidah et al. 2012 menawarkan alternatif solusi yang dinilai paling efektif dan eīsien bagi masalah tumpang-tindih hutan ulayat dan hutan negara di Sumbar, yaitu dengan mempertahankan sebagai hutan negara tetapi memberikan hak pengelolaan kepada masyarakat adat. Model pengelolaan yang dianggap tepat sebagai solusi kasus tersebut adalah model pengelolaan hutan nagari HN, sebagai manajemen kolaboratif yang dapat diterima semua pihak, mengakomodasi aturan adat, dan sejalan dengan aturan pemerintah peraturan tentang hutan desa. Menurut Hamzah, Suharjito, & Istomo 2015, HN merupakan satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan, dimiliki dan BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial38dikuasai oleh persekutuan masyarakat nagari. Status penguasaan HN adalah hak komunal communal property yang dikelola nagari dengan tujuan untuk kesejahteraan masyarakatnya, tidak boleh dijual atau diubah kepemilikannya kepada pihak luar. Konsepsi hutan desa di Indonesia, baik sejak istilah yang dimunculkan melalui peraturan perundangan, era hutan marga, hutan nagari ulayat, atau nama lain pada masa sebelum kemerdekaan dan penerapan Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK tahun 1982-1984, dan istilah yang hidup di desa untuk menunjukkan areal berhutan di dalam wilayah desa sesungguhnya mengandung dua makna yaitu teritorialitas negara4 dan upaya negara memastikan penyediaan sumber daya untuk kesejahteraan masyarakatnya secara berkesinambungan. Jika dirangkum, konsepsi HD mengandung makna politis5 dan ekonomis. Teritorialitas adalah usaha dari seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi atau mengontrol orang, fenomena, dan hubungan keduanya dengan membatasi dan menegaskan kontrol atas sebuah area geograīs Sack, 1986 dalam Vandergeest & Peluso, 1995. Proses teritorialitas disebut teritorialisasi, berupa memasukkan atau mengeluarkan orang-orang dalam batas geograīs tertentu dan tentang mengontrol apa yang dilakukan orang-orang dan akses mereka terhadap sumber daya alam dalam geograīs itu Menzies, 1994 dalam Peluso, 2005. Fakta sejarah menunjukkan bahwa teritorialisasi negara terhadap sumber daya hutan seringkali mendapat resistensi dan perlawanan ketika berhadapan dengan masyarakat lokal, baik di Indonesia Maring, 2008; Rachman, 2012; Shohibuddin & Adiwibowo, 2018 maupun global Isager & Ivarsson, 2002; Lestrelin, 2011, terutama jika bertentangan dengan teritorialitas lokal yang telah ada sebagaimana dibahas oleh Nursidah et al. 2012. 4 Desa, marga, nagari, atau apapun nama yang dikenal di nusantara sesungguhnya merupakan representasi negara sebagai unit pemerintahan terdepan yang menguasai dan mengatur sumber daya alam dan tunduk kepada unit pemerintahan di atasnya. 5 Peluso & Vandergeest 2001 dan Elmhirst 2011 mnyebut konsep political forestā untuk menyatakan sebuah konstelasi tertentu dari kuasa penataan teritorial oleh negara, terlihat dari gagasan, praktik, dan kelembagaan yang menempatkan batasan-batasan ruang bagi akses dan pemanfaatan lahan oleh masyarakat, menyediakan pengakuan dan legitimasi bagi orang tertentu, sementara juga mengeluarkan dan melakukan kriminalisasi bagi pelanggar. Karenanya, secara konseptual sesungguhnya HD tergolong hutan politik. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial39Dalam sejarah, terutama pada masa otoritas kolonial Belanda dan pemerintah Indonesia sampai dengan tahun 1979, teritorialisasi negara terhadap sumber daya hutan lokal tidak mengalami masalah berarti karena masyarakat lokal mengakomodasi konsep teritorial negara untuk kepentingan klaim lokal dan negara tidak mengabaikan konsep dan aturan lokal secara mendasar Wadley, 2003. Proses saling menyesuaikan tersebut terjadi jika kapabilitas negara untuk mengatur dan aturan adat yang berlaku dalam posisi sama kuat McCarthy, 2005. Secara politik, elit lokal biasanya melalui kepala desa melakukan klaim atau upaya teritorialitas terhadap unit lahan yang dianggap bernilai, Peluso 2005 menyebutnya sebagai teritorialisasi lokal. Dalam sudut pandang positif, teritorialisasi lokal merupakan salah satu elemen di dalam konsepsi HD. Menurut Permen LHK No. 86 Tahun 2016, permohonan HPHD diajukan oleh satu atau beberapa lembaga desa dan diketahui oleh satu atau beberapa kepala desa yang bersangkutan. Lokasi HPHD yang dimohonkan berada dalam wilayah administrasi desa. Secara ideal, pemilihan lokasi dan lembaga pengusul HD oleh masyarakat lokal merupakan teritorialisasi lokal. HPHD adalah tenure, hak sebuah lembaga desa untuk memanfaatkan sumber daya di areal kerja HD. Proses pengajuan hingga terbitnya Surat Keputusan SK HPHD seharusnya merupakan teritorialisasi lokal, sebuah langkah politik lokal. Sampai di sini, HD hanya diartikan sebagai āhutan negara yang dikelola oleh desaā. Elemen penting ākesejahteraan desaā seharusnya merupakan proses lanjutan yang berkesinambungan, sebuah langkah ekonomi lokal-global. Langkah ekonomi bertujuan untuk memastikan bahwa lembaga desa dan perangkat-perangkat penyusunannya memiliki kemampuan yang mutakhir dan adaptif dalam memanfaatkan sumber daya HD dan turunannya. Kemampuan menghasilkan keuntungan dari sesuatu disebut oleh Ribot & Peluso 2003 sebagai akses dalam teori yang dikenal dengan theory of access. Konsep akses ditempatkan pada analisis siapa sebenarnya yang beruntung dari sesuatu dan melalui apa proses yang mereka lakukan. Bagi Ribot & Peluso 2003, kemampuan sama dengan kekuasaan power. Kekuasaan dapat bersumber dari teknologi, kapital, pasar, pengetahuan, kewenangan, identitas BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial40sosial, dan relasi sosial. Jika kemampuan ini dikuasai atau dipertahankan untuk ditingkatkan oleh aktor-aktor HD maka pengelolaan HD oleh mereka akan dapat mewujudkan kesejahteraan politis dan ekonomis dari konsepsi HD diterjemahkan menjadi mekanisme tata wilayah dan tata kuasa. Apakah kedua mekanisme tersebut cukup untuk mewujudkan cita-cita konsepsi HD? Apakah kedua mekanisme tersebut dapat diwujudkan dalam praksis? Bagaimana caranya? HD sebagai sebuah konsep dan praktik akan menghadapi tantangan dalam mewujudkannya sebagai sebuah ideologi, politik, instrumen relasi sosial, dan teknologi. Dalam tulisan ini, istilah HD selalu mengacu pada kata kunci penting yang tidak terpisahkan, yaitu hutan negara, dikelola oleh desa, dan untuk kesejahteraan Dinamika Aturan Pendukung dan Latar Belakang Hutan DesaSejak pertama kali diundangkan pada tahun 2008, peraturan tentang HD telah mengalami lima kali perubahan dan penyempurnaan. Ini menunjukkan semangat dan kesungguhan pemerintah dan para pihak dalam mendukung terwujudnya HD. Permenhut No. P. 49 Tahun 2008 diubah menjadi Permenhut No. Tahun 2010, kemudian diganti menjadi Permenhut No. Tahun 2011, selanjutnya berubah menjadi Permen Tahun 2014, semuanya tentang HD. Perubahan aturan terakhir adalah keluarnya Permen LHK No. Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Aturan terakhir ini mencakup semua skema Perhutanan Sosial, termasuk HD. Inti dari proses perubahan tersebut adalah upaya untuk percepatan dan penyederhanaan dalam proses pengajuan/permohonan izin HPHD pada taraf birokrasi dan kesesuaian dengan fakta lapangan. Jika sebelumnya memerlukan waktu hingga paling lama 180 hari, berubah menjadi hanya paling lama 34 hari sampai terbit izin P 89/2014 tentang Hutan Desa dan P 83/2016 tentang Perhutanan Sosial.Permenhut No. Tahun 2008 memuat aturan-aturan pengusulan areal kerja HD dan hak pengelolaan HD yang jika dicermati cukup rumit dan tanpa kejelasan batas waktu. Permen Tahun 2010 dibuat untuk BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial41menyederhanakan prosedur permohonan usulan dan veriīkasi dalam rangka penetapan areal kerja PAK HD. Permen Tahun 2011 dirancang dalam rangka menjamin kepastian calon pemegang izin pada areal kerja HD yang telah ditetapkan oleh Menteri sehingga perlu mencantumkan nama-nama pemohon yang diketahui oleh camat dan/atau kepala desa setempat. Permen Tahun 2014 disusun untuk memberikan jaminan kepastian hukum dalam hak pengelolaan HD. Kerumitan yang muncul dalam periode 2008 hingga 2014 ini terjadi karena aturan-aturan HD tersebut memuat 2 prosedur berkelanjutan yang dalam prosesnya terpisah secara entitas, yaitu penetapan areal kerja oleh Menteri dan penerbitan HPHD oleh Gubernur/ Desa di Indonesia, jika dipelajari lebih dalam berdasarkan proses pengusulan untuk mendapatkan tenurial, dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu HD periode awal 2008-2014 dan HD periode lanjutan 2015-sekarang. HD periode awal, berdasarkan sejarah inisiatif pengusulan, dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu HD inisiatif LSM/NGO, HD inisiatif UPT Kementerian LHK dalam banyak kasus yaitu Balai Pengelolaan DAS, HD inisiatif Dinas Kehutanan Kabupaten, dan HD inisiatif kelompok masyarakat. HD periode lanjutan tidak lagi melibatkan peran UPT Kementerian Kehutanan sekarang KLHK, namun selain inisiatif-inisiatif lembaga yang telah disebutkan dalam periode awal, juga menunjukkan peran besar lembaga Kesatuan Pemangkuan Hutan KPH. Inisiatif berarti siapa yang memberi gagasan kepada kelompok masyarakat dan mengawal proses. Apakah keragaman inisiatif ini mempengaruhi kinerja HD?Dalam masa periode awal 2008-2014, capaian kerja program HD tidak seluas capaian kerja program HKm dan HTR karena proses yang dinilai lebih rumit. Pendampingan sangat menentukan cepat atau lambatnya proses tersebut, terutama pendampingan oleh LSM. HD pertama di Indonesia yaitu di Desa Lubuk Beringin, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Jambi. HD ini mendapatkan SK PAK dari Menteri dan HPHD dari Gubernur Jambi pada tahun yang sama, 2009. Hutan dan masyarakat di Desa Lubuk Beringin difasilitasi dan didampingi oleh Warsi, salah satu LSM di Jambi, dalam program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat PHBM. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial42Desa Labbo, Desa Pattaneteang, dan Desa Campaga di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan menyusul memperoleh penetapan areal kerja dan HPHD pada tahun 2010, sebagai HD kedua di Indonesia. Tiga HD tersebut difasilitasi dan didampingi oleh RECOFTC, Universitas Hasanuddin UNHAS, dan pemerintah daerah pemda sejak tahun 2005 Nurhaedah & Hapsari, 2014 sehingga memudahkan proses lahirnya HD. Hampir berbarengan dengan tiga HD di Bantaeng tersebut, HD ketiga di Indonesia muncul dari Desa Muara Merang, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel. Salah satu LSM di Sumsel, yaitu Wahana Bumi Hijau WBH memfasilitasi dan mendampingi Desa Muara Merang sejak tahun 2001. Hutan Desa periode awal merupakan tonggak dan pelajaran bagi perkembangan HD lanjutan, terutama dalam proses pengusulan dan dukungan situasi sosial politik. Tabel 2 menunjukkan perkembangan HD dalam periode awal, tahun 2009-2014. Sejak ditetapkannya HD pertama di Desa Lubuk Beringin, Kabupaten Bungo, Jambi pada tahun 2009, HD diminati oleh para pihak, LSM, Pemda, dan UPT Kementerian Kehutanan sebagai skema dalam PHBM. Selama periode ini, Menteri Kehutanan menerbitkan 224 SK PAK sedangkan SK HPHD yang dikeluarkan oleh Gubernur/Bupati sebanyak 37 unit SK. Tabel 2 Perkembangan Hutan Desa dalam periode awal 2009ā2014Tahun SK Penetapan Areal Kerja unit SK HPHD unit2009 1 12010 12 42011 40 42012 11 22013 45 262014 115 0Keterangan Data disiapkan oleh Sub Direktorat Penyiapan Hutan Desa KLHK, diolah masalah inisiatif dan pendampingan pengusulan, pembahasan tentang HD menarik untuk dicermati jika dilihat dari sudut pandang motivasi inisiator dan kelompok masyarakat pengusul. Dalam periode awal, semangat para pihak untuk mengajukan program HD meliputi paling tidak dua latar belakang atau motivasi utama6, yaitu semangat keadilan dan penyelesaian 6 Penulis melakukan analisis isi content analysis terhadap beragam informasi HD yang tersedia di internet dalam periode berita 2009 sampai dengan 2019. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial43konīik. Semangat keadilan berupa narasi bahwa desa dan masyarakatnya harus mendapatkan akses legal untuk mengelola hutan yang berada di dalam wilayah administrasi desa, sebagai anti tesis pengelolaan hutan oleh negara yang dianggap menegaskan otoritas desa. Semangat penyelesaian konīik adalah narasi untuk menawarkan alternatif pengelolaan areal kawasan hutan yang terlanjur mengalami deforestasi dan degradasi, dirambah masyarakat untuk kepentingan pertanian dan ekstraksi kayu. HD dengan semangat keadilan, biasanya -tetapi tidak selalu- difasilitasi dan didampingi oleh LSM atau lembaga perguruan tinggi. HD jenis ini dapat dikelompokkan lagi berdasarkan situasi modal sosial dan budaya masyarakat desa, yaitu 1 ātinggiā misalnya untuk kasus HD Namo di Palu, Sulawesi Tengah; HD Labbu di Bantaeng, Sulawesi Selatan; HD Rio Kemunyang, Desa Durian Rambun, Jambi; HN Simancung di Sumbar; dan 2 ārendahā misalnya untuk kasus HD Muara Merang dan Kepayang di Muba, Sumsel; HD Segamai dan Serapung di Riau. HD dengan semangat penyelesaian konīik, biasanya -meskipun dalam praktiknya bercampur baur- difasilitasi oleh Dinas Kehutanan Kabupaten dan UPT Kementerian Kehutanan. HD kelompok ini dapat dibagi menjadi dua berdasarkan taraf interaksi masyarakat dengan lahan kawasan hutan, yaitu pertanian tradisional dan pertanian ekspansif. HD dengan areal kerja pertanian tradisional misalnya terjadi pada beberapa HD eks marga Semende di Kabupaten Muara Enim, Sumsel. HD pertanian ekspansif misalnya pada banyak kasus HD di Provinsi Lampung dan Bengkulu7. Pemerintah mengevaluasi kelambanan proses penerbitan hak pengelolaan HD dan mengupayakan penyederhanaan proses melalui Permen LHK No. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Selain tidak dikenal lagi pembagian penerbitan areal kerja oleh Menteri dan HPHD oleh kepala daerah, aturan Perhutanan Sosial ini memuat ketentuan peralihan, salah satunya bahwa proses penerbitan HPHD yang sedang diusulkan kepada kepala daerah untuk periode awal 2010-2014 maka Menteri menerbitkan HPHD. Proses penerbitan izin dan hak Perhutanan Sosial makin dimudahkan dengan inovasi pemerintah yang mendorong kelahiran Kelompok Kerja Perhutanan Sosial Pokja PS di tiap provinsi sebagai fasilitator dan mekanisme jemput Paragraf ini ditulis berdasarkan analisis isi berita, wawancara penulis dengan beberapa ketua LPHD, dan catatan penelitian Hutan Desa yang penulis lakukan dalam periode 2014-2019. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial44D. Capaian HD Saat Ini Capaian akses kelola Perhutanan Sosial saat ini tersaji dan dapat dilihat melalui situs Data terakhir yang ditampilkan adalah per 21 Oktober 2019. Statistik ini meliputi semua skema Perhutanan Sosial HD, HKm, HTR, Kemitraan, dan HA. Akses kelola Perhutanan Sosial mencapai luasan ha dengan jumlah SK sebanyak unit yang meliputi penerima manfaat KK Gambar 8. Meskipun belum mencapai target yang ditetapkan dalam RPJMN 2014-2019 yakni seluas 12,7 juta ha, capaian kerja 5 tahun terakhir sudah 6 kali lipat lebih tinggi daripada capaian Perhutanan Sosial periode awal yang tidak sampai ha. Khusus HD, capaian akses kelola sampai Oktober 2019 adalah seluas ha dengan jumlah SK sebanyak 793 unit, suatu capaian terluas dan terbanyak KK penerima manfaat dibandingkan skema Perhutanan Sosial lainnya, meskipun dari sisi jumlah unit SK masih lebih rendah dibandingkan skema HKm dan HTR. Gambar 8 Capaian akses kelola Perhutanan Sosial per 21 Oktober 2019. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial45Gambar 9 Capaian Hutan Desa HPHD dalam periode akses kelola HD pada periode lanjutan 2015-2019 meningkat hampir 20 kali lipat dibanding periode awal 2009-2014. Selama masa 4 tahun pertama periode lanjutan 2015-2019, capaian akses kelola HD selalu paling tinggi dibandingkan skema Perhutanan Sosial lainnya. Ini menunjukkan tingginya animo dan harapan para pihak terhadap skema HD. Capaian ini melonjak pesat pada tahun 2017 dan mencapai puncaknya pada tahun 2018 Gambar 9 sebagai hasil dari kemudahan proses dan fasilitasi tindak lanjut Permen LHK No. 83 Tahun 2016. Di balik capaian yang fenomenal tersebut, tercatat sebanyak 158 unit usulan yang ditolak oleh KLHK untuk diproses. Alasan penolakan adalah tumpang-tindih izin atau permohonan pada wilayah blok KPH yang tidak diperuntukkan sebagai HD Ardiputri, 2019; komunikasi pribadi. E. Implementasi HD dan Hambatan di LapanganImplementasi HD merupakan pembahasan atas pertanyaan apakah lembaga desa memiliki kemampuan untuk mencapai tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan hutan setelah mendapatkan hak akses pengelolaan HD? HD telah memasuki satu dekade meskipun kebanyakan BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial46unit baru saja lahir. Laporan beragam pihak dan berdasarkan catatan etnograīs penulis, implementasi HD dapat dikelompokkan menjadi empat kondisi faktual, yakni progresif, diam aktif, diam pasif, dan kontraproduktif. Secara umum, evaluasi keberhasilan Perhutanan Sosial atau PHBM selalu bersandar pada dua indikator utama, yaitu peningkatan tutupan hutan dan kesejahteraan masyarakat Edmunds & Wollenberg, 2003; Martin, Herdiana, Nurlia, & Premono, 2020; Maryudi et al., 2012. Untuk mencapai dua manfaat tersebut, berdasarkan analisis kunci-kunci keberhasilan Perhutanan Sosial secara global, dibutuhkan suasana pemungkin yang meliputi tiga faktor, yaitu kuasa/kontrol, komoditi, dan kultur K3.1. HD ProgresifHD progresif memiliki ciri-ciri dari sisi kuasa/kontrol yakni kejelasan batas-batas tenurial secara īsik batas luar, zonasi wilayah, pengakuan hak individual dan hak kolektif, lembaga pengelola mengendalikan keseluruhan areal kerja HD informasi, aktivitas, transaksi; lembaga pengelola terorganisir dan memiliki hubungan baik ke dalam masyarakat lokal dan pemerintah desa dan keluar lembaga luar yang ditandai dengan banyaknya kerja sama dengan pihak luar; pemerintah desa secara aktif mendukung perkembangan HD, misalnya dengan mengalokasikan Dana Desa dan semacamnya untuk kepentingan kemajuan HD. Dari sisi komoditi, HD progresif ditandai dengan adanya rencana bisnis yang memberikan nilai tambah bagi beragam komoditas yang telah ditetapkan, baik dalam keberlanjutan kontinuitas, peningkatan produktivitas kuantitas, peningkatan mutu produksi dan pengolahan kualitas, dan upaya branding. Dari sisi kultural terlihat dari hubungan saling ketergantungan antara sumber naīah utama atau kebutuhan pokok sehari-hari dengan eksistensi hutan, masyarakat memiliki tradisi kerja kolektif terkait sumber daya, dan masyarakat menerapkan pluralisme hukum terkait pelanggaran aturan, di mana secara formal hukum negara lebih mengemuka. Meskipun belum sempurna, HD Sungai Beras di Tanjabtim, Jambi, HN Taram di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumbar, HD Bentang Pesisir Padang Tikar di Kubu Raya, dan HD Laman Satong di Ketapang Kalbar adalah contoh HD progresif. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial472. HD Diam AktifHD diam aktif adalah HD yang telah berupaya meningkatkan sisi kuasa, komoditi, dan kulturnya, namun belum mampu melaksanakan secara keseluruhan karena kendala inisiatif, dana, dan belum menjadi prioritas utama pemerintah desa. HD ini memiliki lembaga pengelola yang aktif sehingga sering mendapatkan alokasi kegiatan dan fasilitasi dari pemerintah/KPH. HD tergolong diam aktif misalnya HD Sukaraja dan HD Padan di Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, HD Taba Padang di Kepahiang Bengkulu, dan HD Tanjung Agung di Muara Enim, HD Diam PasifHD disebut diam pasif jika setelah mendapatkan SK HPHD, tidak mengalami perubahan sama sekali, baik dari sisi kuasa, komoditi, maupun kultur. Lembaga pengelola HD ini biasanya dibentuk hanya untuk memenuhi kelengkapan administrasi pengusulan. Pengurus lembaga dan pemerintah desa telah merasa nyaman dengan situasi yang ada dan meragukan kemanfaatan implementasi HD. 4. HD KontraproduktifHD tergolong kontraproduktif jika dalam implementasinya justru memburuk dalam hal kuasa, komoditi, dan kultur; areal kerja tidak terkendali dan mengalami deforestasi serta alih fungsi, dan terjadi konīik internal antara lembaga pengelola dan pemerintah desa. HPHD ditafsirkan sebagai kebebasan untuk berbuat sekehendak, bukan mengelola hutan. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial48F. Potensi Pengembangan HD Catatan Kritis untuk Perbaikan KebijakanPeriodesasi pengembangan HD akan memasuki fase pematangan pada kurun waktu 2020-2024. Pada tahap ini, selain masih bersifat ekstensif dalam hal memperbanyak unit HPHD di seluruh Indonesia, pengembangan HD harus memasuki tahap percepatan menuju unit-unit hutan lestari yang dikelola oleh beragam lembaga desa. SK HPHD adalah hak untuk memanfaatkan kawasan hutan, maka proses selanjutnya adalah memastikan peningkatan kemampuan untuk memperoleh manfaat dari pengelolaan kawasan hutan secara lestari. Data dan informasi yang tersaji melalui situs KLHK memperlihatkan bahwa per Desember 2019 terdapat 613 usulan HD yang sedang diproses. Saat ini, skema Perhutanan Sosial yang paling banyak diusulkan adalah Kemitraan Kehutanan, yaitu sejumlah usulan. Ini merupakan peluang ekstensiīkasi HD. Selain memproses usulan yang sudah ada, HD memiliki peluang besar untuk menjadi skema utama dalam Perhutanan Sosial Indonesia melalui 3 cara, yaitu 1 Menawarkan kepada seluruh desa sekitar hutan untuk menjadi pengelola HD; 2 Luas areal kerja HD tidak didasarkan pada usulan, tetapi luas areal kawasan hutan yang tidak dibebani hak desa bersangkutan; 3 Membuat kebijakan baru dalam bentuk varian skema Perhutanan Sosial, berupa Hutan Desa cara baru pengembangan HD merupakan inovasi rasional. Ini adalah pengembangan yang mencakup jumlah unit pengelola, luas areal, dan potensi peningkatan akses. KLHK mencatat ada desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan KLHK, 2018. Secara ideal, semua desa tersebut merupakan pengelola HD. Jika diasumsikan 1 desa 1 HD, maka HD saat ini hanya meliputi 793 desa sekitar 3% dari total desa hutan. Terdapat desa hutan lainnya yang berpotensi sebagai pengelola. Dari sisi luas areal, berdasarkan catatan penulis, areal kerja HD yang tercantum di dalam SK HPHD tidak mencakup semua areal kawasan hutan misalnya hutan lindung yang berada dalam wilayah administrasi desa. Dalam beberapa BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial49kasus, misalnya HD Tanjung Agung dan HD Muara Danau di Semende, Muara Enim, Sumsel, areal kerja HD hanya meliputi sebagian kawasan hutan yang telah mengalami deforestasi. Di sisi lain, LPHD diminta untuk bertanggung jawab jika terjadi penebangan kayu dan perambahan di seluruh areal kawasan dalam wilayah desa. Meskipun tata batas administrasi desa di luar Pulau Jawa belum terlalu baik, areal kerja HD sebaiknya tetap meliputi keseluruhan kawasan hutan produksi atau lindung yang berada di dalam desa. Jika arahan ini diikuti, bisa jadi capaian luas HD melonjak peningkatan akses HD dari sisi capaian luas dan implementasi akan muncul jika dilakukan pembaharuan kebijakan Perhutanan Sosial yang saat ini tidak memungkinkan akses HD bagi kawasan yang telah dibebani hak. Kebijakan Perhutanan Sosial memberikan ruang akses melalui skema kemitraan, biasanya antara kelompok masyarakat tertentu dengan pemegang hak atau pengelola kawasan KPH/Perhutani/TN. Dalam banyak situasi, misalnya keadaan konīik, otoritas pemerintah desa lebih efektif untuk turut berperan sebagai pengelola kawasan hutan yang dibebani hak atau kawasan tertentu KPH. Dari sisi keadilan, desa-desa tertentu di sekitar kawasan hutan yang dibebani hak misalnya IUP-HPHTI, layak untuk diberikan akses mengelola kawasan hutan yang termasuk wilayah administrasi desanya, sebagai sumber pendapatan desa dan kesejahteraan masyarakat. Dalam skema ini, pengelolaan hutan oleh lembaga desa dapat lebih implementatif karena bermitra dengan lembaga profesional. Skema ini dapat disebut sebagai HD menjadi aset desa maka hubungan kinerja implementasi HD dan kesejahteraan dapat bersifat linier. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Kemendes PDTT telah menetapkan Permen No. 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa untuk Tahun 2020, di mana HD menjadi salah unsur prioritas untuk didanai. Kebijakan lanjutan adalah mendorong inisiatif pemerintah desa untuk meyakini bahwa HD adalah sumber pendapatan berkelanjutan bagi desa. Jika mengacu kepada teritorialisasi negara maka HD sebaiknya menjadi program utama dalam tata praja Kemendagri, didukung Kemendes PDTT dari segi pendanaan dan inovasi desa dan KLHK dari sisi teknis kelola hutan. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial50Kategorisasi atau pemisahan kelas implementasi HD perlu dilakukan untuk memudahkan memahami sehingga setiap HD dibina dan didampingi dengan porsi dan cara berbeda, termasuk perlakuan kebijakan. Pendampingan oleh LSM dan KPH sebaiknya diprioritaskan kepada HPHD dalam kelas bawah agar terjadi perubahan dan naik kelas. Kepada pemegang HPHD kelas menengah ke atas sebaiknya diarahkan untuk bermitra langsung dengan pelaku bukanlah sebuah entitas yang berdiri sendiri tetapi harus menjadi bagian integral manajemen lanskap desa sebagai ekosistem hutan sesuai fungsinya. Ini membutuhkan pendampingan trans-disiplin, berjenjang, dan berkelanjutan. Jika terjadi, HD merupakan wujud kehadiran negara dalam tata kelola hutan lokal. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial51Daftar PustakaAliandi, A., & Djatmiko, W. 1998. Hasil hutan non-kayu ekstraktif di Desa Sungai Telang, Rantau Pandan, Jambi Working Paper. Bogor D., & Wollenberg, E. Eds.. 2003. Local forest management the impacts of devolution policies. London S., & Nurrochmat, D. 2014. Hubungan modal sosial dengan pemanfaatan dan kelestarian hutan lindung. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 111, 40ā Suharjito, D., & Istomo. 2015. Efektivitas kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan pada masyarakat Nagari Simanau, Kabupaten Solok. Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan, 22, 117ā L., & Ivarsson, S. 2002. Contesting landscapes in īailand tree ordination as counter-territorialization. Critical Asian Studies, 343, 395ā417. KLHK. 2018. Status Hutan & kehutanan Indonesia 2018. Jakarta Kementerian Lingkungan Hidup dan G. 2011. Rethinking state-ethnic minority relations in Laos Internal resettlement, land reform and counter-territorialization. Political Geography, 306, 311ā P. 2008. Strategi perlawanan berkedok kolaborasi, sebuah tinjauan antropologi kasus penguasaan hutan. Partner, 172, 196ā E., Herdiana, N., Nurlia, A., & Premono, B. T. 2020. Kebun-Ghepang ecological and institutional reference for social forestry at highlands of Sumatra. IOP Conference Series Earth and Environmental Science in progress. IOP A., Devkota, R. R., Schusser, C., Yufanyi, C., Salla, M., Aurenhammer, H., ⦠& Krott, M. 2012. Back to basics considerations in evaluating the outcomes of community forestry. Forest Policy and Economics, 141, 1ā5. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial52McCarthy, J. F. 2005. Between adat and state institutional arrangements on Sumatraās forest frontier. Human Ecology, 331, 57ā M., & Hapsari, E. 2014. Hutan Desa Kabupaten Bantaeng dan manfaatnya bagi masyarakat. Info Teknis Eboni, 111, 27ā Nugroho, B., Darusman, D., Rusdiana, O., & Rasyid, Y. 2012. Institutional development to build a succesfull local collective action in forest management from Arau Watershed Unit Management Area, West Sumatera. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 18, 18ā N. L. 2005. Seeing property in land use local territorializations in West Kalimantan, Indonesia. Geograīsk Tidsskriī, 1051, 1ā M., Walpole, P., DāSilva, E., Lawrence, K., & Khare, A. 1997. Linking government with community resource management a report of the 5th Asia Forest Network Meeting, L. B., & Kumazaki, M. 1995. Land-use changes and their causes in the tropics a case study in South Sumatra, Indonesia in 1969-1988. Tropics, 51/2, 115ā N. F. 2012. Land reform dari masa ke masa. Yogyakarta Tanah Air J. C., & Peluso, N. L. 2003. A theory of access. Rural Sociology, 682, 153ā D., Murni, & Supriyanto. 2010. Iliran dan Uluan dinamika dan dikotomi sejarah kultural Palembang. Yogyakarta Eja M., & Adiwibowo, S. 2018. Meninjau-ulang pengelolaan kolaboratif sumber daya alam studi kritis atas kesepakatan konservasi berbasis adat di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah pp 393-443. In Reforma Agraria Sektor Kehutanan Ragam Masalah dan Tantangan. Bogor IPB G., & Bouvier, H. 1993. Spontaneous migrant strategies and settlement processes in the plains and mountains p 373. In M. Charras & M. Pain Eds., Spontaneous Settlements in Indonesia. Jakarta Departemen transmigrasi dan Orstom. BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKALBersama Membangun Perhutanan Sosial53Vandergeest, P., & Peluso, N. L. 1995. Territorialization and state power in īailand. īeory and Society, 243, 385ā R. L. 2003. Lines in the forest internal territorialization and local accommodation in West Kalimantan, Indonesia 1865-1979. South East Asia Research, 111, 91ā112. BERSAMA MEMBANGUNEditorSulistya Ekawati - Sri Suharti - Syaiful AnwarPERHUTANANSOSIALISBN 978-623-256-166-3KehutananBERSAMA MEMBANGUN PERHUTANAN SOSIALBERSAMA MEMBANGUNPERHUTANANSOSIALPelaku Perhutanan Sosial adalah masyarakat yang īnggal di sekitar atau di dalam kawasan hutan negara, yang keabsahannya dibukīkan melalui Kartu Tanda Penduduk, riwayat penggarapan kawasan hutan, serta akīvitas masyarakat yang dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan. Kelompok masyarakat inilah yang berpeluang memperoleh akses legal untuk mengelola masyarakat dalam pengelolaan hutan adalah keniscayaan yang harus dijalankan pemerintah karena beberapa alasan. Pertama, di dalam dan sekitar kawasan ada + jiwa, jumlah desa di dalam hutan + desa. Kedua, sebagian besar masyarakat sekitar hutan menggantungkan hidupnya dari hasil hutan. Keīga, sebagian besar luas wilayah Indonesia 63,04% berupa hutan dengan jumlah penduduk yang terus ini menguraikan bagaimana masing-masing skema Perhutanan Sosial berproses untuk mewujudkan tujuan pengelolaan hutan masyarakat sejahtera dan hutan terjaga. Tidak dapat dipungkiri, seīap skema mempunyai tantangan dan hambatan, tetapi dengan semangat bersama membangun Perhutanan Sosial, buku ini memberikan catatan kriīs sebagai rekomendasi perbaikan ke Peneliīan dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim BERSAMA MEMBANGUNPERHUTANANSOSIAL Penerbit IPB PressJalan Taman Kencana No. 3,Kota Bogor - Ekawati Sri Suharti Syaiful AnwarBERSAMA MEMBANGUNPERHUTANANSOSIAL Judul BukuBersama Membangun Perhutanan SosialEditorSulistya Ekawati Sri Suharti Syaiful AnwarCopy EditorDana ApriyantoHarionoDiny DarmasihDesain Sampul & Penata IsiAlfyandi Jumlah Halaman 122 + 14 halaman romawiEdisi/CetakanCetakan 1, Juli 2020PT Penerbit IPB PressAnggota IKAPIJalan Taman Kencana No. 3, Bogor 16128Telp. 0251 - 8355 158 E-mail 978-623-256-166-3Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - IndonesiaIsi di Luar Tanggung Jawab PercetakanĀ© 2020, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANGDilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit Forestry is not about trees, it is about people. And it is about trees only insofar as trees can serve the needs of peopleWestoby, 1967 KATA PENGANTARPemerintah telah memberikan hak kelola kepada masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan melalui program Perhutanan Sosial. Sebenarnya sudah diinisiasi sejak lama, tetapi baru pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo program ini mengalami dinamika yang cukup signiīkan. Program Perhutanan Sosial merupakan wujud keberpihakan pemerintah kepada masyarakat Perhutanan Sosial adalah masyarakat yang tinggal di sekitar atau di dalam kawasan hutan negara, yang keabsahannya dibuktikan melalui Kartu Tanda Penduduk, riwayat penggarapan kawasan hutan, serta aktivitas masyarakat yang dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan. Kelompok masyarakat inilah yang berpeluang memperoleh akses legal untuk mengelola hutan. Program Perhutanan Sosial diimplementasikan melalui lima skema, yaitu Hutan Kemasyarakatan HKm, Hutan Desa HD, Hutan Tanaman Rakyat HTR, Hutan Adat HA, dan Kemitraan. Masing-masing skema mempunyai karakteristik yang berbeda dan masyarakat dipersilakan memilih, sesuai dengan potensi sumber daya yang dimiliki, tipologi bioīsik kawasan yang akan dimohonkan, serta tujuan izin akses untuk mengelola hutan. Sepanjang perjalanannya, program Perhutanan Sosial menemui banyak hambatan di lapangan, tetapi tidak sedikit pula cerita sukses yang ini bercerita tentang implementasi kelima skema Perhutanan Sosial yang berisi progres kemajuan, permasalahan yang dihadapi di lapangan, serta rekomendasi kebijakan ke depan untuk memperbaiki kinerja dan capaian keberhasilan implementasi program tersebut. Sudah sewajarnya semua pihak berkolaborasi mendukung program ini dengan harapan konīik kehutanan berkurang secara signiīkan, masyarakat meningkat kesejahteraannya, serta kelestarian hutan tetap terjaga. āBersama Membangun Perhutanan Sosialā adalah wujud sumbang-pikir para penulis untuk memajukan program Perhutanan Sosial. Bersama Membangun Perhutanan SosialviiiUcapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data di lapangan. Kami berharap buku ini dapat berkontribusi dalam mendukung pembangunan program Perhutanan Sosial di Indonesia. Bogor, Desember 2019Kepala Pusat,Dr. Ir. Syaiful Anwar, 19630216 199003 1 001 DAFTAR ISIKATA PENGANTAR ............................................................................................. viiDAFTAR ISI ............................................................................................................. ixDAFTAR TABEL .....................................................................................................xiDAFTAR GAMBAR ..............................................................................................xiiiBAB I PENDAHULUANSulistya Ekawati ........................................................................................................ 1BAB II HUTAN KEMASYARAKATAN SKEMA TERTUA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN Sulistya Ekawati, Dhani Yuniati, & Bugi K. Sumirat .......................................... 7BAB III HUTAN DESA MENGHADIRKAN NEGARA DALAM TATA KELOLA LOKAL Edwin Martin ..........................................................................................................33BAB IV IMPLEMENTASI KEMITRAAN KEHUTANAN DAN PERMASALAHANNYA DI TINGKAT TAPAKCatur Budi Wiati, S. Yuni Indriyanti, & Eddy Mangopo Angi.........................55BAB V HUTAN ADAT PASCA-PENETAPAN REALITA DAN CATATAN KRITIS Surati, Handoyo, & Sylviani .................................................................................77BAB VI HUTAN TANAMAN RAKYAT PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN Deden Djaenudin ....................................................................................................95BAB VII PENUTUP Sulistya Ekawati ....................................................................................................115BIOGRAFI PENULIS .......................................................................................... 117 DAFTAR TABELTabel 1 Beberapa model HKm yang berhasil ...................................................20Tabel 2 Perkembangan Hutan Desa dalam periode awal 2009ā2014 ......... 42Tabel 3 Perkembangan program Kemitraan Kehutanan di Provinsi Kaltim dan Kaltara tahun 2019.........................................62 DAFTAR GAMBARGambar 1 Membaiknya tutupan hutan melalui program HKm akan memperbaiki sumber air foto Sulistya Ekawati .......................... 2Gambar 2 Capaian program Perhutanan Sosial per 31 Desember 2019. .................................................................... 12Gambar 3 Perkembangan luas HKm dari tahun ke tahun. ........................... 13Gambar 4 Sebaran HKm pada pulau-pulau besar di Indonesia. .................. 14Gambar 5 Progres HKm berdasarkan status dokumen unit per 31 Desember 2019. .................................................................... 15Gambar 6 Progres HKm berdasarkan status dokumen ha. ........................ 15Gambar 7 HKm Beringin Jaya di Kabupaten Tanggamus,īsalah satu kelompok HKm terbaik tahun 2016 foto Sulistya Ekawati. ................................................................... 18Gambar 8 Capaian akses kelola Perhutanan Sosial per 21 Oktober 2019. ........................................................................44Gambar 9 Capaian Hutan Desa HPHD dalam periode 2015-2019. ......... 45Gambar 10 Alur tata cara pelaksanaan skema Kemitraan Kehutanan. ......... 58Gambar 11 Capaian program Perhutanan Sosial selama lima tahun terakhir. .............................................................60Gambar 12 Capaian program Kemitraan Kehutanan selama empat tahun terakhir. .........................................................61Gambar 13 Capaian program Kemitraan Kehutanan tahun 2018 berdasarkan wilayah. .......................................................................62 Bersama Membangun Perhutanan SosialxivGambar 14 Pembibitan dan penanaman sengon di program KK PT Ratah Timber dengan KTH Hunge Palau Kampung Mamahak Teboq, Kecamatan Long Hubung, Kabupaten Mahakam Ulu, Kaltim foto PT Ratah Timber. ........................66Gambar 15 Program Kemitraan Kehutanan KPH Tarakan dengan Gapok- tanhut Lestari Gunung Selatan dan Gapoktanhut Gunung Slipi, Kota Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara, berupa budidaya madu kelulut dan tanaman kayu putih foto KPH Tarakan. ...70Gambar 16 Luas capaian HA per provinsi Direktorat PKTHA, 2019b. ..... 79Gambar 17 Alur penetapan hutan adat. ............................................................. 80Gambar 18 Leuweung garapan pada MHA Kasepuhan Karang, Lebak, Banten foto Surati. ........................................................................83Gambar 19 Kerangka pikir pengembangan hutan tanaman rakyat. .............. 99Gambar 20 Kinerja perhutanan sosial per 31 Desember 2019. .................... 100Gambar 21 HTR yang dikelola oleh masyarakat di Prov. Lampung kiri; petani HTR di Prov. Gorontalo mengukur batang pohon untuk mengetahui volume pohon yang dimiliki kanan foto Bugi K. Sumirat. .................................................................101 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this modal sosial dan aksi kolektif mulai mendapat perhatian dalam pengelolaan sumberdaya alam bersama common pool resources, seperti hutan lindung. Wujud modal sosial dalam kajian ini adalah kepemimpinan sosial, adat/nilai budaya/kearifan lokal, kepercayaan dan kelembagaan sosial. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara modal sosial, manfaat ekonomi dan manfaat ekologis dengan kelestarian hutan. Penelitian dilakukan di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi dan Kabupaten Solok Selatan Provinsi Sumatera Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara, diskusi kelompok dan observasi lapangan. Analisis data dilakukan dengan program SPPS Statistic 17,0 untuk membuat estimasi kurva curve estimation pada menu analisis regresi. Hasil kajian menunjukkan modal sosial dilihat dari actor perspective maupun public perspective berkorelasi positif terhadap kelestarian hutan; manfaat ekonomi yang dirasakan masyarakat sekitar hutan berkorelasi negatif dengan kelestarian hutan, dan manfaat ekologi berkorelasi positif terhadap kelestarian hutan. Nancy Lee PelusoThis paper looks at ways of seeing property rights and making claims to land, land-based resources, and territories over time in a district of West Kalimantan, Indonesia. It starts from the premise that changing political economic circumstances and cultural politics create historical conditions that make it easier for political actors to "see" and act on particular sorts of claims. At present, the predominant way of seeing is one based on territoriality. Government and international land use planning are dominated by territorialization strategies. Territorialization, however, is not only an imposed process emanating from centers of power. Using case studies of counter-mapping NGOs and of the territory-producing practices of Salako in a West Kalimantan village, I explore the ways that local territorializations have contributed to changing constructions of ethnic identity, physical landscapes, and tree and land tenures. Lilik Budi PrasetyoMinoru KumazakiLand-use changes in the period between 1969 and 1988 of 38, 480 sq km areas in South Sumatra were examined. Those two periods of land-use map were digitized and input as Geographical Information System GIS data base using Arcllnfo software packages. Quantitative analysis of land-use changes was carried out by overlay technique. Other related factors such as timber concession, and land tenure system changes, were also examined. It has been believed that the deforestation in South Sumatra was caused by timber concession exploitation that have mostly been started in 1968. Our observation, however, shows that most deforestation had occurred before 1968. In 1969, forest area only covered about 35%, while regrowth and cultivated land accounted for 37% and 26% of the total area, respectively. Therefore, the loss of forest might be related to other factors such as cash crop introduction in the early nineteenth century and road construction for oil exploration in the beginning of twentieth century. There was clear evidence that in South Sumatra, timber concessionsā exploitation that was started in 1968, had less impact on forest cover than other land uses. This was demonstrated by the fact that during 1969-1988, in concession area about 74% of forest areas still remained unchanged, in comparison with only 42% in non concession. Moreover, there was much more forest regeneration from regrowth and cultivated land. In total, during 19 years period, forest cover area decreased by less than 10%. This was partially explained by forest regeneration, and the changes of land tenure system marga system that made farmers difficult to access forest Nursidah Bramasto NugrohoDudung DarusmanYuzirwan RasyidThe study was aimed to build institution model of sustainable forest management, through analysis of action arena, community attributes and forest management rules in Arau Watershed Unit Management Area. To achieve sustainable forest management, recognition and incorporation of local institutions in forest policy formulation is very important because it had great potential for collective action and had characteristics of common pools resources sustainable management needed. To achieve a successful local collective action, the institution must be had the rules in use suitable with local community norms; the organization has power to give reward and punishment as well as recognized and respected by society; specific management according location; rules of the game was made participatory; there are economic incentives for owners and users; there is an instrument for controlling sustainable use; and conflict resolution through negotiations to reach an concencus agreement. The finding of institutional models analysis show that co-management model between government and local communities, called Nagari Forest Management Model is more suitable, because it gives greater opportunities for indigenous rights recognition to communal forest, until the capacity of villages get better, then the choice of forest management can be shifted into Nagari Community Based Forest Management Model. Keywords sustainable forest management, institution, collective action, nagariEvaluations on community forestry outcomes are important to observe whether the program community forestry produces what it has promised. For the evaluation -as an alternative to the comprehensive criteria and indicators on sustainable community forestry-, we propose an approach based on the core policy objectives of the program. In fact, community forestry is very much connected to the following three objectives of 1 alleviating the poverty of forest users, 2 empowering them, and 3 improving the condition of the forests. Based on field tests in two community forests in Indonesia, the focus on the core policy objectives appears to provide a more practical approach than the use of complex criteria and indicators. We conclude that our approach allows rapid evaluations and eventually reduces the associated costs and time without compromising the goals of the authors Vandergeest and Peluso have discussed the process of territorialization in Siam/Thailand, where the state has gradually expanded its control over natural resources through its legal machinery and associated classifications of the natural environment. While Vandergeest and Peluso focus on the process of territorialization from the perspective of the Thai State, this article examines the same process from the perspective of nongovernmental organizations and forest-dwelling farmers. Of particular interest is a project launched by the Northern Farmer's Network to "ordain" 50 million trees in community forests throughout Northern Thailand in 1996 to celebrate the fiftieth anniversary of the king's accession to the throne. This essentially Buddhist ceremony has since been conducted in numerous Buddhist as well as non-Buddhist rural communities. The authors argue that these communities apply the tree ordination ceremony as a tool to counter the territorialization of the Thai state by reasserting local identities and environmental responsibilities. By invoking Buddhist symbols and the honor of the king, the rural groupsāmany of which fear eviction from forested areas classified as national parksāidentify themselves positively with modern Thai society in order to contest their public depiction as "enemies of the nation." This article analyzes the process of territorialization and counter-territorialization in Thai society by discussing classifications and associated landscapes in the environmental debate in Thailand. Furthermore, the tree ordination project undertaken by the Northern Farmers' Network is analyzed based on cases from the Mae Chaem district in Chiang Mai Province. Guillaume LestrelinDemocratic participation and the political weight of ethnic minorities have generally increased across Southeast Asia. Indigenous movements, alliances with nongovernmental organizations and legal challenges have become important instruments for laying claims on customary resources and influencing or countering state territorialization. While such strategies are generally not feasible in one-party states such as the Lao Peopleās Democratic Republic, minorities may also engage in more subtle and covert forms of counter-territorialization. This paper provides a detailed account of local responses to internal resettlement and land reform in two minority villages of northern Laos. Drawing upon Michel Foucaultās description of governmentality, it discusses the functioning of stateāethnic minority relations and argues for a critical yet nuanced perspective on the agency of ethnic minorities vis-Ć -vis state territorialization. John F. MccarthyIn Indonesia, with the recent eruption of local struggles over resources and now with the new decentralization reforms, there is renewed interest in the role of customary adat institutional arrangements in village government, land tenure, and forest management. On the basis of research carried out in one locality in Sumatra over 1996ā99, this article considers the nature of local institutional arrangements, how they have evolved under various conditions, their complex interaction with the parallel State order, their response to economic fluctuations, and how particular institutional patterns lead to certain environmental outcomes. This article finds that as farmers adjust to the economic and political dynamics and the changing scarcity and value of different resources in this site, the adat arrangements are constantly renegotiated. Adat customary orders are tied to local notions of identity and associated notions of appropriateness, and as such constitute patterns of social ordering associated with both implicit deeply held social norms and more explicit rules. Considering the institutional pluralism characteristic of this area, this article concludes that, while the State and adat regimes often compete to control the direction of social change, they also constantly make accommodations, and in some respects need to be considered as mutually adjusting, intertwined orders.
rencana pengelolaan hutan desa